Senin, 16 September 2013
Sebelum melihat kabar ekonomi mengenai bagaimana prospek dan potensi terulangnya krisis
seperti pada tahun 1997-1998, ada baiknya kita melihat terlebih dahulu asal
mula atau indikasi terjadinya krisis pada tahun 1997-1998.
Krisis 1997 Bermula
dari Thailand
Krisis finansial yang
melanda Asia pada tahun 97-98 bermula dari ulah spekulan terhadap mata uang
Thailand, yakni Baht. Pada bulan Mei 1997, Baht terkena serangan para spekulan,
namun pemerintah Thailand memutuskan untuk tidak akan mendevaluasi mata
uangnya.
Namun untuk mempertahankan
nilai mata uangnya, diperlukan cadangan devisa yang besar dan cadangan devisa
dari Thailand pada saat itu ternyata tidak kuat untuk mendukung sistem mata
uang “mengambang terkendali” yang dianut Thailand, sehingga pada bulan Juli
1997 akhirnya pemerintah Thailand harus mengubah sistem mata uangnya menjadi
free-float market.
Pada akhirnya, mata
uang Thailand Baht terdevaluasi tajam terhadap US Dollar dan mencapai angka
terendah senilai 56 Baht per 1 USD pada bulan Januari 1998.
Hal inilah yang
menjadi awal mula krisis finansial di Thailand, yang pada akhirnya menyebar ke
beberapa negara Asia lainnya, salah satunya adalah Indonesia yang terkena
imbasnya secara sangat signifikan.
Spekulan Merajalela,
Indonesia Terancam
Saat ini, ulah
spekulan tampaknya kembali menampakkan dirinya, seiring dengan glontoran dana
stimulus secara besar-besaran oleh AS dalam rangka menanggulangi krisis pada
tahun 2008 silam, negara-negara berkembang di Asia tidak terkecuali Indonesia
telah kebanjiran “hot money” atau “uang panas”.
Namun saat ini,
indikasi cukup kuat bahwa bank sentral AS akan mulai menarik program
stimulusnya, sehingga hal ini membuat para spekulan berbondong-bondong menarik
investasinya dari Indonesia. Ulah spekulan inilah yang akhirnya mengakibatkan
mata uang Rupiah terdevaluasi tajam saat ini.
Baru spekulasi saja,
Rupiah sudah tersungkur, apalagi jika The Fed nanti memang jadi melaksanakan
rencana penarikan program stimulusnya pada bulan September 2013 mendatang, maka
tidak menutup kemungkinan kalau nasib mata uang Rupiah akan cukup mengenaskan.
Hingga akhir bulan Agustus 2013 ini, nilai spot Rupiah saja sudah
diperdagangkan di kisaran Rp 10.945 per USD.
Layaknya seperti
Thailand pada tahun 1997, cadangan devisa dari Indonesia saat ini dinilai tidak
akan kuat untuk menopang pelemahan nilai tukar Rupiah secara terus menerus.
Dibulan Juni 2013 saja, cadangan devisa Indonesia sudah menurun ke bawah level
100 miliar USD dan di bulan Juli 2013 dilaporkan sudah menyusut hingga tersisa
sekitar 92 miliar USD.
Jika Rupiah terus
terdevaluasi, maka ekonomi Indonesia akan kembali terancam dilanda krisis, terutama
perusahaan-perusahaan dalam negeri yang mempunyai utang yang besar dalam bentuk
US Dollar. Jika perusahaan-perusahaan tersebut pada akhirnya banyak yang
bangkrut, hal ini akan berakibat melonjaknya tingkat pengangguran secara
signifikan dan mengikis daya beli masyarakat.
Pada akhirnya, hal
tersebut berujung ke tidak berputarnya roda perekonomian, dengan kata lain
terjadi krisis ekonomi.
Sebagai informasi,
sebelum krisis tahun 1997 terjadi, nilai tukar Rupiah berada di kisaran 2600
Rupiah per USD. Krisis yang bermula dari Thailand ini akhirnya mengakibatkan
Rupiah jatuh hingga ke level 11000 Rupiah per USD pada 9 Januari 1998, bahkan
nilai spot Rupiah sempat diperdagangkan pada kisaran 15000 per USD pada paruh
pertama tahun 1998.
Krisis finansial ini
mengakibatkan Indonesia kehilangan hampir 14% dari GDP-nya di tahun 1998 dan
terjadi inflasi besar-besaran hingga mencapai 77% di tahun 1998.
Maka kesimpulannya,
sangat penting saat ini bagi pemerintah Indonesia untuk menciptakan
kebijakan-kebijakan yang efektif dalam rangka stabilisasi nilai tukar Rupiah.
Jika pemerintah Indonesia gagal mempertahankan Rupiah, seperti Thailand pada
tahun 1997 yang gagal mempertahankan mata uangnya, maka tidak menutup
kemungkinan krisis layaknya seperti tahun 1997-1998 bisa saja kembali terjadi
di tanah air.
Dikutip
dari :
Analisa
:
Saat
ini Indonesia kembali terancam mengalami krisis ekonomi.Bank sentral AS mulai
menarik program stimulusnya,sehingga para spekulan menarik kembali investornya
di Indonesia.Hal ini pasti akan memberikan dampak yang besar bagi perekonomian
Indonesia.Bayangkan saja,disaat nilai tukar rupiah sedang melemah saat
ini,dimana USD1 hampir mencapai Rp 11.000,- para investor beramai-ramai menarik
investasinya tentunya Indonesia akan menanggung nilai kurs yang cukup
tinggi.Apabila hal ini terus terjadi,maka perusahaan-perusahaan yang memiliki
hutang di luar negeri juga akan merasakan dampaknya.Jumlah hutang
perusahaan-perusahaan tersebut akan semakin membengkak.Alternatif yang diambil
untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menutup usahanya sehingga menyebabkan
penambahan jumlah pengangguran di Indonesia.Maka dapat dipastikan,Indonesia
akan kembali mengalami krisis ekonomi seperti yang terjadi pada tahun 1997.
Krisis
ekonomi ini menyebabkan Indonesia harus mengeluarkan 14% GDP-nya untuk melunasi
hutang ke luar negeri.Padahal jika GDP yang hilang tersebut dimanfaatkan untuk
memperbaiki struktur ekonomi Indonesia,maka tentu saja akan akan kondisi
perekonomian Indonesia pada saat ini lebiha baik.
Kondisi
seperti ini tidak boleh terjadi secara berkesinambungan.Uang Negara selalu
dihabiskan untuk menutupi hutang diluar negeri yang jumlahnya terus
bertambah.Jika uang Negara selalu di alokasikan untuki menutupi
hutang,bagaimana dengan infrastruktur Indonesia yang masih sangat membutuhkan
perhatian dan perbaikan?Oleh sebab itu,pemerintah harus mebuat suatu
kebijakan-kebijakan baru untuk dapat mengatasi hutang-hutang tersebut.
Solusi-solusi
lain yang mungkin dapat diambil untuk mengurangi jumlah hutang diluar negeri
antara lain:
1.Meningkatkan
daya beli masyarakat melalui pemberdayaan pedesaan dan UMKN
2.Meningkatkan
pajak secara progresif terbadap barang impor dan barang mewah
3.Konsep
pembangunan yang berkesinambungan,berlanjut dan mengarah pada suatu titik
maksimal,dan melepaskan secara bertahap ketergantungan hutang diluar negeri.
4.Menciptakan
rasa 0bangga akan produksi dalam negeri dan berupaya untuk menggalakkan
barang-barang ekspor
5.Mengembangkan
sumber daya manusia berkualitas dan menempatkan kesejahteraan yang adil dan
merata.
\
0 komentar:
Posting Komentar