Pages

Kamis, 08 Januari 2015

Etika Profesi Akuntansi

Nama               : Sri Rahayu
Kelas               : 4EB19
NPM                : 26211879
Harian              : HarianAceh, 03 November 2014
Tema Artikel    : Korupsi
Judul Artikel    : Audit BPKP ACEH

BANDA ACEH, HARIANACEH.co.id — Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) bersama Indonesian Corruption Watch (ICW) telah melaporkan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Aceh ke BPKP Pusat. Hal ini dilakukan karena kinerja audit dalam kurun waktu 2014 yang dilakukan oleh BPKP Perwakilan Aceh terhadap perkara tindak pidana korupsi terkesan lamban bahkan mengulur-ngulur waktu.
Laporan MaTA dan ICW disampaikan langsung kepada Kepala BPKP Pusat, Mardiasmo pada 20 Oktober silam. Dalam laporan tersebut, MaTA dan ICW meminta klarifikasi dan juga mendesak BPKP Pusat untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja BPKP Perwakilan Aceh khusus yang berkaitan dengan audit perhitungan kerugian Negara dalam perkara tindak pidana korupsi.
Berdasarkan monitoring MaTA dalam kurun waktu tahun 2014, terdapat 10 kasus indikasi tindak pidana korupsi yang masih menunggu keluar hasil audit dari BPKP Perwakilan Aceh. Jika dilihat, kasus-kasus tersebut merupakan kasus yang berpotensi melibatkan pejabat-pejabat tinggi dilingkungan pemerintahan Aceh dan pemerintah kabupaten/kota di Aceh.
Sesuai dengan catatan MaTA di tahun 2013, terdapat perkara korupsi pada pengadaan Alkes RSUD Cut Meutia Aceh Utara tahun 2012 yang divonis bebas. Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Banda Aceh beralasan bahwa dalam perkara ini karena tidak ada hasil audit yang memperkuat potensi kerugian Negara.
Padahal, jika dilihat dari versi Jaksa, kerugian dalam kasus ini mencapai Rp. 3,4 miliar dari total anggaran Rp. 25 miliar yang bersumber dari APBN tahun anggaran 2012. Tentunya ini menjadi catatan buruk dalam penegakan hukum kasus korupsi di Aceh.
Selain itu, berdasarkan pantauan MaTA selama ini sering terjadi miskoordinasi antara penyidik dengan auditor BPKP Perwakilan Aceh. Penyidik mengakui semua data-data yang dibutuhkan oleh auditor sudah diserahkan sementara pihak auditor beralasan data-data yang diberikan belum lengkap, padahal gelar perkara terhadap kasus tersebut sudah beberapa kali dilakukan.
Disamping itu, selama ini MaTA juga sering mendapatkan laporan dari penyidik, baik ditingkat kepolisian maupun kejaksaan terhadap lambannya proses audit. Penyidik menngakui ini merupakan kendala dalam percepatan pengungkapan tindak pidana korupsi di Aceh. Oleh karena itu, MaTA berharap dengan laporan ini dapat memperbaiki kinerja audit BPKP Perwakilan Aceh.
Analisa :
            Profesi akuntansi harus dijalankan dengan prinsip – prinsip dan etika – etika yang telah di atur dan dikeluarkan oleh lembaga resmi akuntansi Indonesia, yaitu Ikatan Akuntansi Indonesia. Badan Pemerika Keuangan dan Pembangunan ( BPKP ) terbukti tidak menjalankan prinsip – prinsip etika profesi akuntansi dalam menjalankan tugasnya.
Berikut Prinsip – prinsip etika profesi akutansi yang telah dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan beserta pelanggaran – pelanggaran yang telah dilakukan terkait prinsip – prinsip etika profesi akuntansi :
1.      Tanggung Jawab Profesi
Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan tidak menjalankan tanggung jawabnya sebagai auditor dengan profesional. Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan ( BPKP ) disebutkan belum menyelesaikan pekerjaannya sebagai auditor dimana masih terdapat 10 kasus indikasi tindak pidana korupsi yang masih menunggu keluar hasil audit dari BPKP Perwakilan Aceh. Seharusnya auditor bertanggung jawab menyelesaikan pemeriksaan tersebut sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan tanpa mengulur waktu.
2.      Kepentingan Publik
Tindakan mengulur waktu yang telah dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan sebagai auditor dapat dikatakan sebagai tindakan yang menghambat kepentingan publik. Berdasarkan monitoring MaTA dalam kurun waktu tahun 2014, terdapat 10 kasus indikasi tindak pidana korupsi yang masih menunggu keluar hasil audit dari BPKP Perwakilan Aceh. Jika dilihat, kasus-kasus tersebut merupakan kasus yang berpotensi melibatkan pejabat-pejabat tinggi dilingkungan pemerintahan Aceh dan pemerintah kabupaten/kota di Aceh. Selain itu, terdapat perkara korupsi pada pengadaan Alkes RSUD Cut Meutia Aceh Utara tahun 2012 yang divonis bebas. Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Banda Aceh beralasan bahwa dalam perkara ini karena tidak ada hasil audit yang memperkuat potensi kerugian Negara. Padahal, jika dilihat dari versi Jaksa, kerugian dalam kasus ini mencapai Rp. 3,4 miliar dari total anggaran Rp. 25 miliar yang bersumber dari APBN tahun anggaran 2012. Tentunya ini menjadi catatan buruk dalam penegakan hukum kasus korupsi di Aceh dan merupakan perbuatan yang merugikan kepentingan publik.
3.      Integritas
Tindakan yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan Aceh telah mencoreng  namanya sebagai Auditor. Akibatnya mereka akan kehilangan kepercayaan yang telah ditanamkan masyarakat terhadapnya selama ini. 10 kasus indikasi tindak pidana korupsi yang masih menunggu keluar hasil audit dari BPKP Perwakilan Aceh serta vonis bebas pada kasus pengadaan Alkes RSUD Cut Meutia Aceh Utara tahun 2012 yang diduga akibat pemalsuan hasil audit seolah menggambarkan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan Aceh tidak profesional. Padahal, integritas adalah salah satu kesatuan yang mendasari munculnya pengakuan profesional.
4.      Objektivitas
Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan Aceh dinyatakan tidak objektif sebab tidak berperan sebagai pihak yang netral dalam memberikan penilaian terhadap hasil pemeriksaan. BPKP Aceh lebih condong kepada RSUD Cut Meutia Aceh Utara dengan turut menyajikan hasil audit yang bukan sebenarnya. BKPK Aceh telah tidak adil dan berada di pihak lain ( tidak netral ). Bukti lainnya, sering terjadi miskoordinasi antara penyidik dengan auditor BPKP Perwakilan Aceh. Penyidik mengakui semua data-data yang dibutuhkan oleh auditor sudah diserahkan sementara pihak auditor beralasan data-data yang diberikan belum lengkap, padahal gelar perkara terhadap kasus tersebut sudah beberapa kali dilakukan.
5.      Kompetensi dan Kehati – hatian Profesional
BPKP Aceh dinilai tidak kompetensi karena tidak menuangkan pengalamannya sebagai auditor dalam menanganai kasus RSUD Cut Meutia. Selain itu, BPKP Aceh juga dinilai tidak berhati – hati karena tidak memenuhi tanggung jawab profesinya dengan tekun dan patuh. Akibatnya dalam kasus pengadaan alkes di RSUD Cut Meutia terjadi kerugian dalam kasus ini mencapai Rp. 3,4 miliar dari total anggaran Rp. 25 miliar yang bersumber dari APBN tahun anggaran 2012.
6.      Prilaku Profesional
BPKP Aceh melanggar prinsip etika prilaku profesional karena dianggap telah tidak profesional mengulur waktu pemeriksaan dan memihak kepada pihak RSUD Cut Meutia dengan memanipulasi hasil audit yang menyebabkan kerugian negara mencapai mencapai Rp. 3,4 miliar dari total anggaran Rp. 25 miliar yang bersumber dari APBN tahun anggaran 2012
7.      Standar Teknis
BPKP Aceh tidak menjalankan etika etika profesi yang telah ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia-Komparatemen Akutan Publik (IAI-KAP). Dimata BPKP telah bertindak tidak obyektif sehingga merusak merusak integritasnya sendiri dimata maysarakat sebagai auditor yang profesional. Selain itu, mungkin berasal dari sejumlah komisi yang ditawarkan menjadikan auditor tidak lagi berada dipihak yang netral, namun mutlak berada dipihak RSUD Cut Meutia dan ikut memanipulasi data audit. Etika profesi yang telah ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia-Komparatemen Akutan Publik (IAI-KAP) diantaranya etika tersebut antara lain :
a. Independensi, integritas, dan obyektivitas 
b. Standar umum dan prinsip akuntansi
c. Tanggung jawab kepada klien
d. Tanggung jawab kepada rekan seprofesi
e. Tanggung jawab dan praktik lain