Nama :
Sri Rahayu
Kelas :
4EB19
NPM :
26211879
Harian :
HarianAceh, 03 November 2014
Tema
Artikel : Korupsi
Judul
Artikel : Audit BPKP ACEH
BANDA
ACEH, HARIANACEH.co.id — Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) bersama
Indonesian Corruption Watch (ICW) telah melaporkan Badan Pemeriksa Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) Perwakilan Aceh ke BPKP Pusat. Hal ini dilakukan karena
kinerja audit dalam kurun waktu 2014 yang dilakukan oleh BPKP Perwakilan Aceh
terhadap perkara tindak pidana korupsi terkesan lamban bahkan mengulur-ngulur
waktu.
Laporan
MaTA dan ICW disampaikan langsung kepada Kepala BPKP Pusat, Mardiasmo pada 20
Oktober silam. Dalam laporan tersebut, MaTA dan ICW meminta klarifikasi dan
juga mendesak BPKP Pusat untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja BPKP
Perwakilan Aceh khusus yang berkaitan dengan audit perhitungan kerugian Negara
dalam perkara tindak pidana korupsi.
Berdasarkan
monitoring MaTA dalam kurun waktu tahun 2014, terdapat 10 kasus indikasi tindak
pidana korupsi yang masih menunggu keluar hasil audit dari BPKP Perwakilan Aceh.
Jika dilihat, kasus-kasus tersebut merupakan kasus yang berpotensi melibatkan
pejabat-pejabat tinggi dilingkungan pemerintahan Aceh dan pemerintah
kabupaten/kota di Aceh.
Sesuai
dengan catatan MaTA di tahun 2013, terdapat perkara korupsi pada pengadaan Alkes
RSUD Cut Meutia Aceh Utara tahun 2012 yang divonis bebas. Majelis Hakim
Pengadilan Tipikor Banda Aceh beralasan bahwa dalam perkara ini karena tidak
ada hasil audit yang memperkuat potensi kerugian Negara.
Padahal,
jika dilihat dari versi Jaksa, kerugian dalam kasus ini mencapai Rp. 3,4 miliar
dari total anggaran Rp. 25 miliar yang bersumber dari APBN tahun anggaran 2012.
Tentunya ini menjadi catatan buruk dalam penegakan hukum kasus korupsi di Aceh.
Selain itu,
berdasarkan pantauan MaTA selama ini sering terjadi miskoordinasi antara
penyidik dengan auditor BPKP Perwakilan Aceh. Penyidik mengakui semua data-data
yang dibutuhkan oleh auditor sudah diserahkan sementara pihak auditor beralasan
data-data yang diberikan belum lengkap, padahal gelar perkara terhadap kasus
tersebut sudah beberapa kali dilakukan.
Disamping
itu, selama ini MaTA juga sering mendapatkan laporan dari penyidik, baik
ditingkat kepolisian maupun kejaksaan terhadap lambannya proses audit. Penyidik
menngakui ini merupakan kendala dalam percepatan pengungkapan tindak pidana
korupsi di Aceh. Oleh karena itu, MaTA berharap dengan laporan ini dapat
memperbaiki kinerja audit BPKP Perwakilan Aceh.
Analisa :
Profesi akuntansi harus
dijalankan dengan prinsip – prinsip dan etika – etika yang telah di atur dan
dikeluarkan oleh lembaga resmi akuntansi Indonesia, yaitu Ikatan Akuntansi
Indonesia. Badan Pemerika Keuangan dan Pembangunan ( BPKP ) terbukti tidak
menjalankan prinsip – prinsip etika profesi akuntansi dalam menjalankan
tugasnya.
Berikut
Prinsip – prinsip etika profesi akutansi yang telah dilakukan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan beserta pelanggaran – pelanggaran yang telah
dilakukan terkait prinsip – prinsip etika profesi akuntansi :
1.
Tanggung Jawab Profesi
Badan Pemeriksa Keuangan dan
Pembangunan tidak menjalankan tanggung jawabnya sebagai auditor dengan
profesional. Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan ( BPKP ) disebutkan belum
menyelesaikan pekerjaannya sebagai auditor dimana masih terdapat 10 kasus
indikasi tindak pidana korupsi yang masih menunggu keluar hasil audit dari BPKP
Perwakilan Aceh. Seharusnya auditor bertanggung jawab menyelesaikan pemeriksaan
tersebut sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan tanpa mengulur waktu.
2.
Kepentingan Publik
Tindakan mengulur waktu yang telah
dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan sebagai auditor dapat
dikatakan sebagai tindakan yang menghambat kepentingan publik. Berdasarkan
monitoring MaTA dalam kurun waktu tahun 2014, terdapat 10 kasus indikasi tindak
pidana korupsi yang masih menunggu keluar hasil audit dari BPKP Perwakilan Aceh.
Jika dilihat, kasus-kasus tersebut merupakan kasus yang berpotensi melibatkan
pejabat-pejabat tinggi dilingkungan pemerintahan Aceh dan pemerintah
kabupaten/kota di Aceh. Selain itu, terdapat perkara korupsi pada pengadaan Alkes
RSUD Cut Meutia Aceh Utara tahun 2012 yang divonis bebas. Majelis Hakim
Pengadilan Tipikor Banda Aceh beralasan bahwa dalam perkara ini karena tidak
ada hasil audit yang memperkuat potensi kerugian Negara. Padahal, jika dilihat
dari versi Jaksa, kerugian dalam kasus ini mencapai Rp. 3,4 miliar dari total
anggaran Rp. 25 miliar yang bersumber dari APBN tahun anggaran 2012. Tentunya
ini menjadi catatan buruk dalam penegakan hukum kasus korupsi di Aceh dan
merupakan perbuatan yang merugikan kepentingan publik.
3.
Integritas
Tindakan yang dilakukan Badan
Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan Aceh telah mencoreng namanya sebagai Auditor. Akibatnya mereka akan
kehilangan kepercayaan yang telah ditanamkan masyarakat terhadapnya selama ini.
10 kasus indikasi tindak pidana korupsi yang masih menunggu keluar hasil audit
dari BPKP Perwakilan Aceh serta vonis bebas pada kasus pengadaan Alkes RSUD Cut
Meutia Aceh Utara tahun 2012 yang diduga akibat pemalsuan hasil audit seolah
menggambarkan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan Aceh tidak
profesional. Padahal, integritas adalah salah satu kesatuan yang mendasari
munculnya pengakuan profesional.
4.
Objektivitas
Badan Pemeriksa Keuangan dan
Pembangunan Aceh dinyatakan tidak objektif sebab tidak berperan sebagai pihak
yang netral dalam memberikan penilaian terhadap hasil pemeriksaan. BPKP Aceh
lebih condong kepada RSUD Cut Meutia Aceh Utara dengan turut menyajikan hasil
audit yang bukan sebenarnya. BKPK Aceh telah tidak adil dan berada di pihak
lain ( tidak netral ). Bukti lainnya, sering terjadi miskoordinasi antara
penyidik dengan auditor BPKP Perwakilan Aceh. Penyidik mengakui semua data-data
yang dibutuhkan oleh auditor sudah diserahkan sementara pihak auditor beralasan
data-data yang diberikan belum lengkap, padahal gelar perkara terhadap kasus
tersebut sudah beberapa kali dilakukan.
5. Kompetensi
dan Kehati – hatian Profesional
BPKP Aceh dinilai tidak
kompetensi karena tidak menuangkan pengalamannya sebagai auditor dalam
menanganai kasus RSUD Cut Meutia. Selain itu, BPKP Aceh juga dinilai tidak
berhati – hati karena tidak memenuhi tanggung jawab profesinya dengan tekun dan
patuh. Akibatnya dalam kasus pengadaan alkes di RSUD Cut Meutia terjadi
kerugian dalam kasus ini mencapai Rp. 3,4 miliar dari total anggaran Rp. 25
miliar yang bersumber dari APBN tahun anggaran 2012.
6.
Prilaku Profesional
BPKP Aceh melanggar prinsip etika
prilaku profesional karena dianggap telah tidak profesional mengulur waktu
pemeriksaan dan memihak kepada pihak RSUD Cut Meutia dengan memanipulasi hasil
audit yang menyebabkan kerugian negara mencapai mencapai Rp. 3,4 miliar dari
total anggaran Rp. 25 miliar yang bersumber dari APBN tahun anggaran 2012
7.
Standar Teknis
BPKP Aceh tidak menjalankan etika etika
profesi yang telah ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia-Komparatemen Akutan
Publik (IAI-KAP). Dimata BPKP telah bertindak tidak obyektif sehingga merusak
merusak integritasnya sendiri dimata maysarakat sebagai auditor yang
profesional. Selain itu, mungkin berasal dari sejumlah komisi yang ditawarkan
menjadikan auditor tidak lagi berada dipihak yang netral, namun mutlak berada
dipihak RSUD Cut Meutia dan ikut memanipulasi data audit. Etika profesi yang
telah ditetapkan oleh Ikatan Akuntan
Indonesia-Komparatemen Akutan Publik (IAI-KAP) diantaranya etika tersebut antara lain :
a. Independensi, integritas, dan obyektivitas
b. Standar umum dan prinsip akuntansi
c. Tanggung jawab kepada klien
d. Tanggung jawab kepada rekan seprofesi
e. Tanggung jawab dan praktik lain
b. Standar umum dan prinsip akuntansi
c. Tanggung jawab kepada klien
d. Tanggung jawab kepada rekan seprofesi
e. Tanggung jawab dan praktik lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar